Selasa, Maret 10, 2009

Belum Bisa

Black In News---

Sekitar jam 05.45 WIB, gue nganter keponakan sekolah ke kawasan Pondok Kelapa, Jaktim. Jalur yang gue tempuh melalui kawasan Bintara, sekitar kolam renang HS Agung. Yup, masih di Jaktim juga. Karena udah lama gak lewat situ dan kebetulan semalem nginep di rumah kakak, gue pengen ngobrol2 lebih banyak ma keponakan yang SMP itu dan nganterin ke skolahnya.

Ciiittt.. Gue harus ngerem. Gak bisa lagi maksa kecepatan motor pe 60-80 km/jam. Sumpah, gak bisa. Boro-boro sgitu; kecepatan 20 km/jam aja udah syukur. Kenape? Macetnya sadis banget. Kaget? Nggak sih, namanya juga Jakarta. But, kawasan itu sebelumnya gak macet. Setidaknya untuk beberapa tahun ke belakang.

Sekarang, jalan-jalan tikus pun, udah rame ama yang namanya motor. Aarrghh, kenapa ya masalah kemacetan ini sepertinya tambah runyam. Sampai-sampai punya niat gak mau stay di Jkt. Bukan lari dari masalah. Tapi, macet itu;
1. Cape
2. Boros
3. Ngeselin
4. Mengurangi produktivitas
5. Bikin males
6. Diklaksonin kendaraan orang
7. Berisik
8. Penuh orang yang mudah marah
9. Tidak bersahabat
10. Jelas-jelas ngrugiin.

Memang tak enak jadi orang bodoh. Kita belum bisa mengatasi masalah klasik yang tambah runyam ini. Andai paham mengatasinya, mungkin, gue akan berusaha untuk jadi orang awal tuk membenahi kemacetan ini. Ah, gak enak jadi orang bdoh. Mengatasi kemacetan bukan ranah gue, bukan wilayah gue, karena belum ada komptensi tuk itu.

Tapi gue masih inget beberapa program pihak terkait untuk mengurai masalah macet ini. Utamanya di Ibu Kota. Program yang pernah dijalanin, antara lain, three in one di kawasan padat lalu lintas. Belum lagi wacana pembatasan nomor plat ganjil genap. Mengoptimalkan busway agar masyarakat beralih ke moda transportasi ini.

Wacana monorel, water way, dan apa lagi ya [lupa]. Yang gue inget banget, program itu gak jalan. Belum bisa ngatasin maslah. Bahkan, masih ada yang sebatas wacana. Monorel, misalnya, belom jadi-jadi. Jumlah volume kendaraan di Jabodetabek, kalo gak salah, sekitar 7,5 juta. Kebanyakan ye? Pokoknya jutaan deh.

Hmm, kenapa gak dibatasin??? Gila, di rumah kontrakan2 sempit, motor dan tv nomor satu. Di perumahan sedang, motor minimal dua. Belum lagi mobilnye. Di perumahan elit, wah tebak aja deh. Saat gue melintas di kawasan Pancoran, Jaksel, pekan lalu. Gue memilih naek angkot. Alasannya; berusaha mengurangin kendaraan di jalan [walau gak ngaruh]. Saat itu gue juga rada pegel dan males bawa motor. Apalagi bawa mobil; ngajak tambah pegel.

Di angkot [patas] gue berdiri. Nah, pemandangan yang asik ada di luar. Lagi-lagi, kemacetan mengular. Tapi, gue kurang suka waktu liat mobil pribadi di sekitar angkot yang gue naekin, rata-rata hanya dibawa satu orang aja. Maksimum dua.

Iseng, gue coba observasi kecil-kecilan. Dari Blok-M pe Kampung Melayu gue pelototin mobil2. Yah, itu tadi. Sama. Jumlah penumpang di tiap mobil pribadi tetep dikit. Rata-rata satu orang per mobil. Ini memang dari dulu. Nah, justru di situ anehnya..

Busway dan program laen gagal [maaf belum bisa] ngatasin masalah ini. Macet? Iya itu masalah dari dulu. Kenapa ya, macet justru dianggap hal biasa. Macet hampir jadi budaya lalu lintas di Jkta. Kapan ada perubahan? Kenapa pabrik2 gak dibatasin untuk memproduksi jumlah kendaraan?

Ah, kayaknya gue mimpi. Jangankan dibatasin, ngambil kreditan motor dan mobil aja jadi lebih mudah dan cepat. Gimana mau batasin, kalo itu jadi salah satu pendapatan untuk...

Sejumlah program tetep belum bisa. Sejumlah program belum bisa dijalankan efektif. Belum bisa menemukan cara yang lebih pasti. Belum bisa! Tapi, gue juga belum bisa menganggap macet itu hal biasa, meski udah tinggal di Jakarta puluhan taon. Karena gue gak mau anggep itu biasa. Gak mau anggap macet itu budaya. Rugi Bos.. Banyak ruginya. Mubadzir, terutama.

Ini pendapat saya. Pendapat Anda, bisa dan boleh berbeda.





© Mahkamah Hati - Template by Blogger Sablonlari - Header image by Deviantart